Upaya membangun kesiapsiagaan bencana di Indonesia membutuhkan partisipasi masyarakat serta kolaborasi dan kerjasama multi pihak, termasuk tokoh dan kerjasama lintas agama. Dalam kultur masyarakat Indonesia, tokoh agama merupakan salah satu pihak yang mempunyai fungsi dan peran yang strategis dalam upaya penanggulangan bencana, termasuk kesiapsiagaan bencana. Hal ini karena mereka memiliki hubungan erat serta akses terdekat dengan kehidupan masyarakat dan rumah ibadah yang dipimpinnya.
Inilah yang mendorong Widowati untuk mendorong upaya pengurangan risiko bencana berbasis rumah ibadah. Wido, panggilannya, juga merupakan salah satu mitra yang kerap bekerja bersama Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) dalam berbagai upaya pengurangan risiko bencana dan respons kebencanaan.
Sebagai manajer program di Humanitarian Forum Indonesia (HFI), Wido saat ini tengah menjalankan program yang berfokus pada Pengurangan Risiko Bencana (PRB) berbasis rumah ibadah. Program ini tidak hanya mempromosikan kesiapsiagaan bencana, tetapi juga memperkuat toleransi antar umat beragama di Indonesia. Hal ini sejalan dengan HFI sebagai forum 20 lembaga kemanusiaan berbasis agama di Indonesia.
“Rumah ibadah tidak hanya menjadi tempat beribadah bagi umatnya, tetapi juga bisa menampung umat dari agama lain saat terjadi bencana,” ujar Widowati. “Ini adalah contoh nyata bahwa toleransi di Indonesia bukan hanya wacana, tapi juga aksi nyata.”
Program ini diterapkan di lima rumah ibadah di Jakarta dan akan diperluas ke wilayah lain di Indonesia, seperti NTT, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tenggara. Total ada 14 orang yang telah dilatih, termasuk 12 tokoh agama dan 2 anggota HFI.
Tingkatkan Kapasitas
Program PRB berbasis rumah ibadah yang dimulai sejak 2021, bertujuan untuk mewujudkan ketangguhan lembaga agama dengan prioritas utama yaitu membangun kesiapsiagaan bencana di rumah ibadah. Pasalnya, rumah ibadah selain untuk fungsi keagamaan, juga bisa sebagai pusat kegiatan sosial, khususnya pada situasi darurat bencana.
Program ini diawali dengan memberikan pelatihan kepada tokoh agama. Materi pelatihan mencakup manajemen risiko bencana dan manajemen bencana, yang kemudian disusun menjadi buku kesiapsiagaan bencana berbasis rumah ibadah. Buku ini mengadopsi teologi bencana yang spesifik untuk enam agama di Indonesia, namun kegiatan lain bersifat umum dan dapat diterapkan oleh semua agama.
Setelah buku tersebut selesai, program dilanjutkan dengan pelatihan fasilitator atau Training of Trainers (ToT). Para tokoh agama yang telah dilatih kemudian melakukan pelatihan di rumah ibadah mereka masing-masing. Fasilitator dalam pelatihan ini merupakan campuran dari berbagai agama, misalnya, di masjid tidak hanya tokoh agama Islam yang menjadi fasilitator, tetapi juga tokoh agama Hindu dan Buddha. Hal ini membangun toleransi nyata di lapangan.
Wido menambahkan dalam situasi bencana rumah ibadah kerap menjadi tempat pengungsian. Namun, para tokoh agama dan pengelola rumah ibadah belum tentu paham tentang manajemen bencana. Melalui kerjasama kesiapsiagaan, para tokoh agama kini memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk mengelola situasi darurat dan menerima pengungsi dengan lebih baik.
Widowati berbagi cerita menarik dari pengalamannya. “Sebagai seorang Muslim, saya baru mengetahui bahwa kegiatan ritual agama Hindu dan Buddha sangat banyak. Untuk kita melakukan kegiatan di rumah ibadah tersebut, mau tidak mau harus menyesuaikan,” katanya
Inisiatif Pengurangan Risiko Bencana berbasis rumah ibadah ini tidak hanya meningkatkan kesiapsiagaan bencana di Indonesia, tetapi juga memperkuat ikatan toleransi antar umat beragama. Dengan pelatihan yang tepat dan kerjasama lintas agama, Indonesia membuktikan bahwa keberagaman dapat menjadi kekuatan dalam menghadapi bencana. Widowati dan HFI terus berkomitmen untuk mengembangkan proyek ini, membawa pesan toleransi dan kesiapsiagaan ke tingkat yang lebih tinggi.
The post Widowati dan Inisiatif Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Rumah Ibadah: Membangun Toleransi dan Kesiapsiagaan di Indonesia appeared first on Plan International.