Perubahan iklim telah menjadi ancaman masyarakat global. Peralihan cuaca yang mencolok ini berdampak pada berkurangnya ketersediaan sumber daya air, meningkatnya pencemaran air, sanitasi, dan memperparah polusi. Hampir semua lapisan masyarakat merasakan dampak perubahan iklim. Tetapi beban lebih berat dirasakan kelompok masyarakat termarjinalkan, terutama anak-anak, perempuan, dan orang dengan disabilitas.
Dalam banyak aspek, perubahan iklim mempersulit akses mereka terhadap air bersih, sanitasi layak, dan lingkungan yang sehat. Padahal mereka juga merupakan pengelola dan pengguna air. Sehingga, pelibatan kaum perempuan dan kelompok disabilitas sangat penting dalam merumuskan kebijakan isu perubahan iklim. Prinsip-prinsip kesetaraan sosial ini wajib diterapkan dalam program air, sanitasi, dan kebersihan yang inklusif.
Baiq Hadijah, perempuan dengan disabilitas fisik di Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengakui, selama ini mereka kurang dilibatkan dalam perumusan kebijakan perubahan iklim.
“Banjir panas dan kekeringan makin meningkat dalam beberapa bulan ini, penyandang disabilitas adalah salah satu yang terdampak dan paling tertinggal dalam isu ini (air dan sanitasi),” kata Baiq Hadijah.
Namun, melalui program Water for Women (WfW) yang dilaksanakan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), penyandang disabilitas kini mendapat pemahaman tentang air, sanitasi, dan dampak perubahan iklim. Mereka juga mulai dilibatkan dalam perumusan kebijakan bersama intansi terkait.
“Di Sumbawa terutama di desa saya hampir sebagian besar membeli air atau antre mengambil air. Dengan keterlibatan penyandang disabilitas dalam kegiatan air dan sanitasi (kami) diuntungkan dengan mendapatkan informasi tentang air, sanitasi, dan perubahan iklim. Hingga usia (saya) ini baru bersama Plan Indonesia saya terlibat dengan dinas terkait,” Darmansyah, salah satu pengurus Himpunan Tuna Netra Sumbawa (Himatras).
Pada tingkat desa, pemerintah juga membentuk Desa Peduli Iklim untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat terhadap dampak perubahan iklim. Kegiatan adaptasi perubahan iklim ini diharapkan menekan laju pemanasan global dari desa.
Pelaksanaan CCRIW di Sumbawa dan Manggarai
Untuk membantu warga mengatasi berbagai persoalan dampak perubahan iklim ini, terutama kaum marginal, Plan Indonesia melaksanakan kegiatan Climate Change Resilience Inclusive WASH (CCRIW). CCRIW merupakan tools yang dibuat oleh University Technology Sydney bersama Plan Indonesia. Tools ini diadaptasi dari metode untuk mendorong perubahan perilaku dalam pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), dengan mempertimbangkan konsep adaptasi perubahan iklim, air, sanitasi, dan kebersihan (WASH), isu gender, dan inklusi sosial.
CCRIW menilai bagaimana perubahan iklim memengaruhi layanan air, sanitasi, dan kebersihan di pedesaan. Membantu memetakan sumber daya desa, serta rencana aksi dalam adaptasi dan mitigasi WASH. Sehingga diharapkan memperkuat Pedoman Penyelenggaraan Kampung Perubahan Iklim maupun Desa Sehat Iklim dari sisi STBM.
Plan Indonesia melaksanakan diskusi CCRIW di 96 desa dan kelurahan di 24 kecamatan di Kupang, Manggarai, dan Sumbawa. Kegiatan ini mendorong partisipasi masyarakat memetakan isu perubahan iklim dan dampaknya terhadap air, sanitasi, dan kebersihan.
Dengan tools CCRIW masyarakat memetakan bahaya perubahan iklim yang mungkin terjadi di suatu desa. Dampak perubahan iklim terhadap infrastruktur air dan sanitasi. Serta mengetahui dampaknya terhadap kebersihan atau pencapaian pilar pilar STBM seperti Stop Buang Air Besar Sembarangan, Cuci Tangan Pakai Sabun, Pengamanan Sampah Rumah Tangga, dan Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga.
Selain memetakan permasalahan bahaya iklim terhadap akses dan infrastruktur, masyarakat juga diajak berdiskusi tentang sumber daya apa yang dimiliki untuk menghadapi bahaya iklim, kemudian menyusun rencana aksi desa.
Berdasarkan hasil pelaksanaan CCRIW, diketahui dampak perubahan iklim paling dirasakan berupa terganggunya akses ke beberapa fasilitas sanitasi untuk air, toilet, sarana cuci tangan pakai sabun (CTPS), dan tempat sampah
Meski warga masih bisa mengakses sumber air, tetapi mereka dihadapkan pada beberapa konsekuensi. Seperti harus jarak yang jauh, sarana pendukung tidak memadai, waktu lebih untuk memenuhi kebutuhan, kurang nyaman (mengantre, kotor, tidak aman), dan adanya biaya lebih. Di sisi lain, kemampuan masyarakat terbatas untuk melakukan perbaikan, sehingga mereka lebih banyak menunggu bantuan pemerintah.
Bencana iklim ini membatasi akses warga ke fasilitas air dan sanitasi, baik dari aspek jarak, waktu, keamanan, dan infrastruktur. Bencana iklim juga memengaruhi penggunaan fasilitas dari aspek keamanan, kenyamanan dan ketersediaan fasilitas pendukung, terutama pada kelompok perempuan, anak, dan disabilitas.
Kelompok disabilitas menjadi kelompok paling sulit mengakses fasilitas air dan sanitasi ketika terjadi bencana iklim, karena sebagian besar desa belum memiliki fasilitas sanitasi inklusif. Bencana iklim juga menambah beban pekerjaan sanitasi dan pengeluaran biaya rumah tangga bagi kelompok anak perempuan, perempuan dan laki-laki paruh baya.
Beranjak dari persoalan tersebut, melalui kegiatan CCRIW diusulkan beberapa rekomendasi desa untuk ditindaklanjuti. Rekomendasi ini terbagi menjadi empat sub sektor, yaitu sub sektor air, sanitasi, pengelolaan sampah, dan pengelolaan air limbah.
Rekomendasi pada sub sekor air berupa penyediaan sumber air yang layak, perlindungan sumber air yang ada, penambahan kapasitas penampungan air (untuk menghadapi kekeringan), dan pemeliharaan jaringan air bersih.
Rekomendasi untuk sub sektor sanitasi adalah modifikasi sarana agar lebih tahan iklim, perlindungan sarana dari bahaya iklim (pembuatan tanggul, pemeliharaan rutin, perbaikan sarana yang rusak, reboisasi, penanaman mangrove), serta penyediaan sarana pendukung inklusif.
Rekomendasi untuk pengelolaan sampah yaitu modifikasi Tempat Pengolahan Sampah (TPS) agar tahan terhadap banjir, sarana pengangkutan untuk menghindari penumpukan sampah, pengurangan sampah (pilah pilih sampah, Tempat Pengolahan Sampah 3R (TPS3R), pengolahan tingkat rumah tangga), gotong royong, edukasi, promosi.
Terakhir, rekomendasi sub sektor pengelolaan air limbah, diantaranya pemeliharaan saluran drainase (RT dan komunal), pembangunan saluran drainase baru (termasuk lubang resapan), gotong royong, edukasi, promosi kebersihan saluran drainase.
Rekomendasi ini diimplementasikan dalam bentuk rencana aksi. Beberapa rencana aksi dilakukan di tingkat desa, diantaranya upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim, baik terkait dengan air, sanitasi, pengolahan sampah dan pengolahan limbah. Selain upaya adaptasi dan mitigasi, sebagian besar rencana aksi desa juga merekomendasikan fasilitas air dan sanitasi inklusif, sehingga memudahkan semua orang bisa mengakses fasilitas dengan mudah dalam kondisi apapun.
“Kegiatan CCRIW sangat membantu dan penting dilakukan untuk mengetahui respons masyarakat terhadap perubahan iklim yang tidak menentu sekarang ini, terutama untuk program prioritas STBM GESI, supaya masyarakat bisa tahu dampak dan beradaptasi terhadap perubahan iklim tersebut dalam WASH,” kata Anastasia C. Tamala Sanitarian Kabupaten Manggarai.
Kegiatan CCRIW, kata Tamala, melibatkan semua kelompok umur serta para penyandang disabilitas. Melalui diskusi itu juga, pandangan masyarakat mulai terbuka terkait kesetaran sosial dan kesetaraan gender.
The post Program CCRIW Membantu Warga Kabupaten Sumbawa dan Manggarai Hadapi Perubahan Iklim appeared first on Plan International.